JAKARTA, - Kalangan pekerja media, terutama jurnalisperlu
diatur dengan ketentuan khusus terkait jam kerja di perusahaan. Selama
ini tak ada ukuran baku mengenai waktu kerja jurnalis, padahal sebagai
pekerja mereka berhak mendapat perlakuan sesuai ketentuan dalam Undang
Undang Ketenagakerjaan.
"Mendengar pengakuan kawan-kawan saya jadi agak miris, kok
sebegitunya dan tak ada perlindungan. Padahal Indonesia sudah
meratifikasi konvensi ILO. Jurnalis bekerja hingga jam berapapun tak
mendapat upah lembur," kata Sri Astuti, Kasubdit Pengawasan Norma Kerja,
Kemenakertrans
saat menjadi pembicara Diskusi Publik : Keselamatan Jurnalis dan
Kebebasan pers Tantangan dari Dalam Lingkungan Kerja di Dewan Pers,
Jumat (9/5/2014).
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, Anggota Dewan Pers
Nezar Patria, Ketua Federasi Serikat Pekerja Media Independen
(FSPM-Independen) Abdul Manan serta Ketua Perkumpulan Karyawan Kompas
Adi Prinantyo.
Sesuai UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan waktu kerja
adalah 40 hari seminggu yakni 7 jam per hari untuk 6 hari kerja atau 8
jam per hari untuk 5 hari kerja. Namun, menurut Astuti, UU memungkinkan
ada ketentuan di luar itu terhadap sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
"Misalnya aturan khusus untuk pekerjaan sektor ESDM, Pertambangan Umum
serta migas," kata Astuti.
Menurutnya jurnalis
bisa mengusulkan ketentuan khusus seperti halnya buruh di sektor
pertambangan. "Sebab bila bekerja melewati batas kemampuan itu akan
bahaya. Kami siap mendukung bila ada pengajuan soal jam kerja," katanya.
Astuti melanjutkan, bila untuk jurnalis dipilih aturan yang bersifat khusus, maka jurnalis
akan menerima hak lembur secara otomatis, misalnya setelah bekerja di
atas 9 jam. "Sepanjang menggunakan aturan umum, saat kerja lebih 40 jam
perusahaan wajib bayar upah lembur, bila tidak sanksinya pidana," kata
Astuti.
Menurut Nezar, selama ini perusahaan pers menerapkan aturan umum bekerja selama 8 jam setiap hari. Namun pada praktiknya, jurnalis
bekerja lebih dari 8 jam. Menurutnya memang sulit menentukan aturan
kaku lama jam kerja pada jurnalis. "Menurut saya diambil jalan tengahnya
misalnya ada kompensasi. Dewan pers bisa memfasilitasi," ujarnya.
Sementara itu Adi Prinantyo mengungkapkan, di tempat dia bekerja
aturan mengenai jam kerja diselesaikan secara parsial di masing-masing
desk. "Misalnya di olahraga bekerja dengan pola 6-1 (enam hari kerja
sehari libur), 6-1 dan 5-2. Jadi dapat libur dua hari setiap 3 minggu
sekali," kata Adi.
Diskusi juga menyoroti tentang minimnya perusahaan pers yang mampu memenuhi hak-hak jurnalis
terutama soal upah yang layak. Kurangnya perhatian perusahaan pers
tentang pengupahan berpotensi mengakibatkan praktik jurnalisme yang tak
sesuai etika. Abdul Manan mendorong para jurnalis
untuk memperjuangkan haknya melalui serikat pekerja. Dari ribuan
perusahaan media di Indonesia, menurut Manan hanya sekitar 30 perusahaan
yang memiliki serikat pekerja. (Trb)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)