Permasalahan
yang dihadapi lembaga penyiaran publik yaitu TVRI cukup kompleks,
sehingga harus mengalami 'pembintangan' dalam anggarannya, khususnya
belanja modal, sedangkan item anggaran TVRI lainnya seperti biaya
pemeliharaan, biaya pegawai dan biaya operasional tetap dicairkan.
Konon,
menurut informasi yang beredar di kalangan legislatif ataupun kalangan
lainnya, sebenarnya anggaran yang dibutuhkan TVRI sebesar Rp 3 triliun,
namun hanya disetujui sebesar Rp 1,5 triliun, karena selama ini dana
sebesar apapun yang diberikan kepada TVRI dinilai berbagai kalangan
tidak dapat mengangkat kinerja TVRI.
Disamping itu motor
penggerak atau awak media yang menukangi TVRI juga dinilai kurang dapat
bersaing di dunia bidang penyiaran yang notabene memerlukan kreativitas
tingkat tinggi, yang akhirnya TVRI juga dinilai gagal bersaing di era
global seperti TV-TV “plat merah” lainnya di berbagai negara yang
dinilai sukses bersaing di era global seperti NHK Jepang, BBC Inggris,
ABC Australia dan RTM Malaysia.
Bahkan, rumors yang beredar
teknologi yang digunakan oleh TVRI sudah kuno dan kalah bersaing dengan
teknologi yang dipakai Lembaga Penyiaran Swasta. Bahkan rumors terkait
marak dan masifnya korupsi di tubuh TVRI juga mulai didengar masyarakat.
Tidak hanya itu saja, rumors yang beredar terjadinya kisruh di
internal TVRI yang menyebabkan pembintangan atau pemblokiran dana TVRI
tahun anggaran 2014 oleh Komisi I DPR-RI dan Kemenkeu disebabkan antara
lain karena Dewan Pengawas (Dewas) TVRI ikut mencampuri urusan internal
TVRI padahal hal tersebut melanggar kesepakatan antara Komisi I
DPR-RI-Dewan Pengawas dan Direksi TVRI, bahkan Direksi TVRI tidak dapat
membuat program siaran secara independen, karena Dewan TVRI yang
memiliki production house(PH) sudah menetapkan program acara yang
disiarkan TVRI.
Sekali lagi rumors ini benar atau tidak hanya mereka yang sedang bertikai yang dapat menilainya.
Namun,
sekali lagi ribut-ribut di TVRI haruslah segera dituntaskan karena
tidak elok di zaman “information edge” seperti sekarang ini. Jika
masalah ini tidak dapat dituntaskan antar anak bangsa kita sendiri, kita
malu dengan singkatan TVRI, karena ada kata-kata RI didalamnya yaitu
Republik Indonesia. Permasalahan di TVRI harus diselesaikan dengan
win-win solution, hanya TVRI yang dapat diandalkan sebagai garda
terdepan untuk menjaga kedaulatan nasional di bidang kominfo di era
global saat ini yang diakui atau tidak, disukai atau tidak sudah terjadi
spill over atau peluberan siaran asing yang lama kelamaan akan dapat
mempengaruhi karakter, jiwa, mental dan semangat perjuangan generasi
muda.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siti Nur Aisyiyah
dalam "Drama Televisi dan Ketahanan Nasional(2008)" mengatakan,
ketahanan nasional suatu negara, peradaban dankarakter suatu bangsa,
dapat kita ketahui, kita pikirkan dan rasakan ketika kita menyaksikan
program drama televisinya. Hal ini karenadalam setiap siaran televisi
ada proses "selection effects", "mediaeffects" dan "virtuous circle"
yang semuanya berhubungan dengan sebabakibat, kemampuan dan perilaku
karakter media televisi dalammemberikan effects terhadap masalah sosial,
perilaku (kejiwaan), sikap(pilihan/keputusan) dan pengetahuan politik
(kebijaksanaan pola pikir)
pemirsanya dalam referensi jangka panjang.
Hanya
TVRI yang dapat diandalkan untuk menjadi penangkal mengurangi dampak
negatif spill over ke depan, karena TVRI tidak membutuhkan rating untuk
programnya tidak seperti lembaga penyiaran swasta yang sangat tergantung
dengan hasil rating untuk program siarannya akan diteruskan atau tidak.
Cepat, selesaikan ribut-ribut di TVRI demi kepentingan nasional ke
depan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)