Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) mendorong pemerintah memberi ganti rugi pada petani
korban bencana alam. Ganti rugi dapat digunakan untuk membeli pupuk dan
bibit tanaman baru, sehingga ketahanan pangan dan jaminan sosial petani
terjaga.
"Kalau petani yang tidak bisa panen karena bencana tidak diberi ganti
rugi, mereka bisa alih profesi menjadi buruh serabutan. Ketahanan pangan
bisa terganggu," terang anggota BPK bidang audit sektor pangan Ali
Masykur Musa kemarin (7/2).
Menurut dia, ganti rugi bagi petani yang
terkena bencana juga tidak melanggar hukum. Sebab, UU No 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani mengamanatkan pada
pemerintah untuk melindungi petani dengan dana darurat ketahanan pangan.
"Bencana banjir dan letusan gunung itu kondisi force majeure yang
dimaksud dalam undang-undang," katanya.
Pemerintah berencana memberikan dana
kompensasi ganti rugi bagi petani korban bencana alam sebesar Rp 1,7
juta hingga Rp 2 juta per orang. Syaratnya, kerusakan lahan akibat
bencana lebih dari 75 persen. Bantuan dialokasikan melalui anggaran
darurat di Kementerian Pertanian di APBN yang mencapai Rp 200 miliar.
Luasan lahan yang puso akibat terendam banjir dan terimbas letusan
gunung diperkirakan mencapai 300 ribu hektare.
Ali Masykur menegaskan, sekitar 44 persen
angkatan kerja bergerak di sektor pertanian. Namun, sektor pertanian
kini kurang mendapat perhatian sehingga mengalami permasalahan, seperti
penurunan luas lahan pertanian, hancurnya infrastruktur irigasi,
kelangkaan pupuk, dan sistem logistik yang tidak memadai.
"Selama 10 tahun (2003-2013), jumlah
petani menyusut lima juta orang, sehingga kini jumlah keluarga tani
tinggal 26 juta. Begitu juga dengan nelayan. Pada periode yang sama,
jumlah nelayan merosot sekitar 25 persen sehingga jumlah keluarga
nelayan tangkap tinggal 2,8 juta keluarga," tutur salah satu peserta
konvensi calon presiden Partai Demokrat ini.(jpnn)