MAJALENGKA,- Gerabah yang diproduksi perajin di Desa Parung,
Kecamatan Leuwimunding, Kabupaten Majalengka, tak mampu bersaing dengan
gerabah produk luar yang lebih baik dan model yang beragam. Kini, jumlah
perajin gerabah semakin terbatas.
Dulu menurut keterangan sejumlah warga, hampir semua warga Desa
Parung bermata pencaharian dari kerajinan gerabah tradisional, namun
belakangan akibat pasar yang semakin terbatas wargapun tak mampu
mengembangkan usahanya, akibatnya perajin pun semakin sedikit . Sebagian
besar warga beralih profesi bekerja ke luar kota.
Gerabah yang diproduksi oleh warga Desa Parung hanya beberapa jenis
saja yang pasarnya pun sangat terbatas, seperti halnya cetakan serabi,
cowet, tutup dandang, pendil kecil dan sedang, serta dudukan panci atau
dandang yang biasa digunakan memasak di tungku kayu bakar.
Menurut beberapa perajin gerabah seperti disampaikan Uca, Inah dan
Sanimah, saat ini jumlah perajin gerabah di desanya tinggal enam orang,
satu orang di antaranya penampung barang setengah jadi. Perajin banyak
yang menghentikan usahanya karena biaya produksi tidak sebanding lagi
dengan yang dihasilkan.
Dulu harga tanah liat masih murah bahkan bisa mengambil dari areal
terdekat, kini harus membeli ke wilayah Desa Majasuka atau Desa
Tegalaren, Kecamatan Ligung demikian juga pasir sebagai campuran tanah
liat.
“Harga tanah liat satu kol (mobil bak -red) bisa mencapai Rp 500.000
hingga di rumah, karena kendaraan tidak bisa masuk ke pekarangan
sehingga butuh roda dan pekerja untuk mengangkut. Belum lagi pasir,”
ungkap Uca, perajin pendil.
Makanya menurut Uca, saat ini para perajin lebih memilih membeli
tanah liat dalam jumlah terbatas atau diistilahkan warga “salondong”
(seukuran ember besar) seharga Rp 2.500. Setiap orang menurut dia hanya
membuat satu hingga dua jenis barang saja.
Inah misalnya dia hanya membuat cowet, Munah membuat cetakan serabi,
Sintul membuat pendil kecil, serta Uca membuat pendil sedang dan cowet.
Barang-barang tersebut setelah kering dijual kepada Sanimah sekaligus
untuk dibakar. Karena Sanimah adalah satu-satunya pemilik pembakaran
gerabah.
“Berhentinya para perajin akibat bahan baku mahal, sementara harga
jual sangat murah. Satu hari kerja membuat gerabah tidak cukup untuk
biaya hidup sehari, terlebih bila cuaca buruk. Makanya anak muda lebih
memilih bekerja ke Tanggerang dan Jakarta,” kata Uca yang mengaku hanya
bisa membuat lima pendil setiap harinya.
Namun demikian menurut Inah pekerjaan seperti ini tetap dilakukannya
karena tidak bisa melakukan pekerjaan lain. Dia mengaku setiap harinya
hanya mampu membuat 20 cowet tanah, setiap cowet mentah dia jual seharga
Rp 750.
Sanimah sebagai penampung barang menyatakan, pasar gerabah yang
diproduksinya hanya untuk kebutuhan tertentu, misalnya saja pendil kecil
hanya untuk kebutuhan orang melahirkan untuk menyimpan plasenta, pendil
sedang untuk tujuh bulanan, cowet pasarnya juga terbatas hanya untuk
perajin brem atau ibu rumah tangga karena cowet tanah kini tergeser oleh
cowet batu.
“Saya punya beberapa orang pedagang keliling dan beberapa pembeli
yang datang langsung ke sini, mereka berjualan di sejumlah pasar,”
ungkap Sanimah. (PRLM).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)